Rabu, 28 Mei 2014

MASYARAKAT USING


Masyarakat Using dikenali sebagai etnis yang paling awal mendiami kabupaten Banyuwangi, dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang tetap konsisten melaksakan budaya dan bahasa Jawi Kuno sejak berdirinya Kerajaan Blambangan, sehingga oleh beberapa kalangan dianggap sebagai penduduk asli Banyuwangi. Walaupun sebagai penduduk asli Banyuwangi, secara kuantitatif etnik Using minoritas di tengah kemajemukan etnis di kabupaten Banyuwangi. Menurut catatan kependudukan tahun 2010, etnis Using hanya berjumlah 500 ribu jiwa. Jumlah tersebut tersebar di beberapa kecamatan kabupaten Banyuwangi, di antaranya adalah kecamatan Giri, Songgon, Glagah, Singojuruh, Cluring, Rogojampi, Kabat, Sebagian Banyuwangi Kota, Srono, dan Sebagian Genteng (Rochsun, 2012:7).
Ayu Sutarto (dalam Rochsun, 2012:8) membagi karakteristik etnis Using pada umumnya kedalam empat hal yaitu: 1) ahli dalam bercocok tanam, 2) memiliki tradisi seni dan budaya yang handal, 3) sangat egaliter, 4) terbuka terhadap perubahan. Atas dasar empat hal tersebut dan dikaitkannya dengan karakter masyarakat melalui unsur-unsur produk budaya bahwa, seni budaya etnis Using dikatakan mempunyai relasi dengan nilai religi dan pola mata pencaharian.
Kesenian tradisional khas Banyuwangi diantaranya Gandrung Banyuwangi, Seblang, Janger, Rengganis, Hadrah, Kunthulan, Patrol, Mocopatan, Pacul Goang, Jaranan Butho, Barong, Kebo-Keboan, Angklung Caruk dan Gedhogan (Suharti, 2012: 25).
Selain itu juga terdapat kesenian yang berhubungan dengan siklus kehidupan (Pitonan/hamil hari ke tujuh, Colongan, Ngleboni, Angkat-angkat/Perkawinan), kemasyarakatan (Rebo Wekasan/pemberian sesaji kepada roh halus, Ndok-Ndogan/Mauludan, Kebo-keboan/Penyambuh Panen) hingga tari-tarian. Budayawan Jawa Timur Ayu Sutarto mencatat ada 32 acara budaya yang dimiliki masyarakat Using. Delapan belas diantaranya adalah kesenian (Nugroho dalam Ritonga, 2011).
ETNOBOTANI


Definisi etnobotani secara ideal sangat luas. Istilah etnobotani berasal dari kata “etno” yang berarti ras, orang, kelompok budaya, bangsa, dan “botani” yang berarti ilmu tanaman, sehingga definisi logis menjadi "ilmu interaksi masyarakat dengan tanaman”. Secara sederhana, etnobotani dapat didefinisikan sebagai suatu bidang ilmu yang mempelajari hubungan antara masyarakat lokal dengan tumbuhan yang terdapat di alam lingkungan sekitarnya (Walujo, 2008). Menurut Gerique (2006) etnobotani adalah ilmu interdisipliner keterkaitan interaksi antara manusia dengan tumbuh-tumbuhan.
            Etnobotani merupakan cabang ilmu yang bersinggungan dengan ilmu pengetahuan alam, ilmu sosial dan pengetahuan budaya suatu masyarakat atau suku bangsa. Keterkaitan dua poros ilmu ini seakan bertolak belakang, namun merupakan ilmu yang mempelajari hubungan langsung manusia dengan tumbuhan dalam kegiatan pemanfaatannya secara tradisional, seperti halnya pemanfaatan tumbuhan untuk jamu yang dapat menjaga/mempertahankan kesehatan. Etnobotani mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang primitive, yang mana gagasanya telah disampaikan pada pertemuan perkumpulan arkeologi tahun 1895 oleh Harsberger (Chandra dalam Suryadarma, 2008).
            Etnobotani secara harfiah berarti ilmu yang mengkaji botani masyarakat lokal, etnobotani merupakan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan yang berlangsung antara masyarakat tradisional dengan lingkungan nabati. Sekarang ini etnobotani digambarkan sebagai hubungan timbale balik mansusia dan tumbuhan. Etnobotani bertujuan membantu dalam menerangkan budaya dari suku-suku bangsa dalam pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan makanan, pakaian, obat-obatan, bahan pewarna dan lainya (Jain dan Mudgal, 1999).
            Menurut Walujo (2000) sejak permulaan munculnya, batasan etnobotani sebagai suatu disiplin ilmu masih belum pasti dan belum ada suatu batasan tegas yang disepakati oleh semua peneliti. Oleh sebab itu kemudian diberikan batasan yang meliputi penelitian dan evaluasi tingkat pengetahuan dan fase-fase kehidupan masyarakat primitive beserta pengaruh lingkungan dunia tumbuh-tumbuhan terhadap istiadat, kepercayaan, dan sejarah suku bangsa yang bersangkutan. Disiplin etnobotani secara tidak langsung telah lama dikenal di kalangan ilmuwan dunia,tetapi di Indonesia belum berkembang seperti ilmu-ilmu lainnya. Baru pada tahun-tahun terakhir ini etnobotani mulai banyak digemari kalangan peneliti botani.
            Menurut Suryadarma (2008), Etnobotani mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku yang primitive, yang mana gagasannya telah disampaikan pada pertemuan perkumpulan arkeolog tahun 1895 oleh Harsberger (Rifa’i, 2000). Etnobotani merupakan cabang ilmu yang interdispliner, yaitu mempelajari hubungan manusia dengan tumbuhan dan lingkungannya (Walujo, 2000). Etnobotani menekankan bagaimana mengungkapkan keterkaitan budaya masyarakat dengan sumberdaya tumbuhan di lingkungannya secara langsung ataupun tidak langsung. Penekanan pada hubungan mendalam budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya. Mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam mengatur system pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkup hidupnya.